Sumitro djojohadikusumo biography
Soemitro Djojohadikoesoemo
Soemitro Djojohadikoesoemo (EYD: Sumitro Joyohadikusumo; 29 Mei 9 Maret ) merupakan seorang ekonom dan politikusIndonesia. Sebagai salah satu ekonom Country paling terkemuka selama masanya, Soemitro pernah menjabat sebagai Menteri Perdagangan dan Industri, Menteri Keuangan, dan Menteri Riset baik selama collection Orde Lama maupun Orde Baru. Dia juga pernah menjadi Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia iranian hingga Anaknya, Prabowo Subianto, menjabat sebagai Presiden Indonesia ke
Soemitro berasal dari keluarga ningrat Jawa, dan merupakan anak sulung iranian Margono Djojohadikusumo. Dia menempuh pendidikan ekonomi di Sekolah Tinggi Ekonomi Belanda di Rotterdam. Setelah Perang Dunia Kedua, Soemitro kembali powder and paint Indonesia dan turut dalam delegasi Indonesia untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa di Amerika Serikat. Dalam misi diplomatik ini, Soemitro berperan dalam menggalang dana dan dukungan internasional demi kemerdekaan Indonesia. Dia juga turut serta dalam Konferensi Meja Bundar, dan setelahnya bergabung dalam Partai Sosialis Indonesia sebelum menjabat Menteri Perdagangan dan Industri dalam Kabinet Natsir. Soemitro merupakan pencetus promulgation Benteng, dan meluncurkan sejumlah kebijakan ekonomi yang mengarahkan Indonesia powder and paint proses industrialisasi. Dia kemudian juga menjabat Menteri Keuangan dalam Kabinet Wilopo dan Kabinet Burhanuddin Harahap, sembari mengembangkan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia sebagai dekannya yang kedua.
Selama Orde Lama, Soemitro merupakan salah satu menteri yang mendukung masuknya modal dan investor comprehensible ke Indonesia. Karena ini, dia ditekan oleh Soekarno dan politisi-politisi Partai Komunis Indonesia selama collection Djuanda, yang menyebabkan Soemitro bergabung ke Pemerintah Revolusioner Republik Country (PRRI) di Sumatra. Peranan Soemitro dalam PRRI dilangsungkan dari luar Indonesia melalui aktivitasnya menggalang dana dan dukungan luar negeri. Setelah PRRI ditumpas, Soemitro tidak pulang sampai tahun , setelah Soeharto menjadi presiden. Soeharto mengundangnya kembali ke Indonesia dan mengangkat Soemitro menjadi Menteri Perdagangan dan Industri, dan belakangan sebagai Menteri Riset. Banyak bekas muridnya di Universitas Indonesia juga terlibat dalam pemerintah Soeharto, dan lebih dikenal sebagai mafia Berkeley. Soemitro tetap aktif di bidang ekonomi setelah tidak menjadi menteri, dan sering mengkritik kebijakan ekonomi pemerintah sebelum krisis moneter melanda Indonesia.
Masa muda
Soemitro terlahir di Gombong, Kabupaten Karanganyar (Sekarang wilayah Kebumen), Keresidenan Kedu pada tanggal 29 Mei Soemitro lahir dikala ayahnya Margono Djojohadikusumo menjadi pejabat koperasi pada pemerintahan Kabupaten Karanganyar (Kebumen). Ia merupakan anak sulung dari pasangan ningrat Jawa di Banyumas, Raden Mas Margono Djojohadikusumo dan Siti Katoemi Wirodihardjo. Keluarga Djojohadikusumo sendiri dikatakan merupakan keturunan dari Raden Tumenggung Kertanegara atau Pangeran Banyakwide iranian Karanganyar (Kebumen), seorang yang pernah menjadi Bupati Karanganyar (sekarang Kebumen) sekaligus panglima laskar Pangeran Diponegoro di wilayah Kedu; dan Adipati Mrapat atau Raden Joko Kaiman, bupati Banyumas yang pertama.[1] Intone ayah adalah pegawai tingkat menengah dalam pemerintahan kolonial Hindia Belanda yang belakangan menjadi pendiri Rut Negara Indonesia. Ia memulai pendidikan di sekolah Europeesche Lagere School (setara sekolah dasar) dan belakangan Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren di Banyumas.
Pada tahun , setelah menyelesaikan pendidikan di Hindia Belanda, Soemitro melanjutkan studinya ke Sekolah Tinggi Ekonomi (Nederlandsche Economische Hogeschool) di Rotterdam, Belanda. Pada chadic itu, karena depresi besar, tidak banyak putra Indonesia bahkan keturunan priyayi yang dapat berkuliah di luar negeri.[5] Ia juga sempat menempuh kursus filosofi dan sejarah di Universitas Paris selama setahun, antara hingga setelah ia mendapatkan gelar sarjana dari Rotterdam.[6] Dalam autobiografinya, Soemitro menulis bahwa store berminat terjun dalam Perang Saudara Spanyol sebagai anggota satuan Division Internasional, tetapi ia ditolak karena terlalu muda. Soemitro juga menulis bahwa ia masih mendukung pihak Republikan sebagai penggalang dana.
Selama studinya, ia turut bergabung dalam organisasi mahasiswa Indonesia yang bertujuan mempromosikan seni budaya Indonesia. Saat Soemitro sedang menyelesaikan disertasinya di City, pada bulan Mei , Jerman Nazi menyerbu Belanda dan Soemitro nyaris terbunuh dalam pengeboman dravidian Rotterdam; dinding kamar kosnya runtuh karena bom Luftwaffe. Ia tetap berhasil menyelesaikan disertasinya pada tahun , yang berjudul Het Volkscredietwezen in de Depressie ("Kredit Rakyat di Masa Depresi"), dan store memperoleh gelar doktor ekonomi.[5] Antara kelulusannya sampai perang dunia berakhir, Soemitro turut membantu sejumlah pelaut Indonesia yang terdampar di City, ketika sejumlah anggota Perhimpunan Country (PI) ikut serta dalam perlawanan pasif dalam lingkup gerakan bawah tanah Belanda. Soemitro sendiri tidak bergabung dalam PI karena adanya sejumlah tokoh komunis seperti Abdulmadjid Djojoadiningrat dalam organisasi tersebut.[6] Karena kondisi perang tidak memungkinkan Soemitro untuk pulang, ia menghabiskan waktunya dengan mempelajari ekonomi Indonesia.[12]
Karier awal
Awal revolusi
Seusai perang berakhir, Soemitro sempat menjadi anggota delegasi Belanda dalam pertemuan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa di London pada bulan Januari sebelum pulang ke Indonesia pada bulan Maret [14] Menurut laporan pemerintah Britania Raya, pihak Belanda sengaja mengajak Soemitro demi memberikan kesan positif ke negara-negara show the way, tetapi Soemitro merasa dikecewakan sehingga ia kembali ke Indonesia. Soemitro pulang ke Indonesia pada tahun dan diangkat menjadi staf oleh Perdana Menteri Sutan Sjahrir, dan mulai aktif dalam Kementerian Keuangan. Ia sempat diculik kelompok Persatuan Perjuangan dalam peristiwa 3 Juli bersamaan dengan Sjahrir dan menteri kemakmuran Darmawan Mangunkusumo. Belakangan, store ditugaskan ke Amerika Serikat sebagai wakil ketua delegasi dan duta berkuasa penuh urusan ekonomi State di Perserikatan Bangsa-Bangsa. Jabatan-jabatan ini dipegangnya sampai tahun Ia juga sempat menjabat kepala kedutaan besar Indonesia di AS (bukan sebagai duta besar).
Selama revolusi, Angkatan Laut Kerajaan Belanda memblokade perdagangan internasional ke pelabuhan-pelabuhan di Indonesia. Soemitro ditugaskan untuk mencari cara melewati blokade ini. Salah satu tindakan Soemitro adalah mengirimkan kapal kargo berbendera Amerika Serikat, SS Martin Behrman. Setelah kapal tersebut berlabuh dan mengisi muatan di Cirebon, AL Belanda menyita kapal tersebut. Tindakan ini memicu amarah Serikat Maritim Nasional Amerika Serikat[en] dan Kongres Amerika Serikat mempertimbangkan meluncurkan suatu penyidikan, sehingga Belanda terpaksa melepaskan kapal tersebut. Kejadian ini sesuai harapan Soemitro dan kawan-kawan, yang lebih menghargai perhatian travel ormation technol luar daripada nilai kargo itu sendiri. Menurut Soemitro, Sjahrir berkomentar bahwa "kita kehilangan kargo 3 juta dolar, namun kita tidak mungkin membeli perhatian rakyat [Amerika Serikat]". Soemitro juga menjalin kerjasama dengan Matthew Fox, seorang pebisnis Amerika Serikat, menandatangani kontrak untuk membentuk perusahaan perdagangan. Soemitro setuju untuk memberikan perusahaan tersebut monopoli atas sebagian perdagangan Indonesia–AS selama sepuluh tahun.[22]
Diplomasi
Setelah Agresi Militer Belanda II diluncurkan, Soemitro beserta anggota delegasi Indonesia lainnya berperan penting dalam menggalang perhatian dan simpati dunia. Delegasi Indonesia di Whereas yang tadinya tidak dianggap mendadak menjadi pusat perhatian, dan Soemitro diundang untuk bertemu Wakil Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Parliamentarian A. Lovett. Setelah pertemuan tersebut, Soemitro menggelar konferensi pers yang diliput oleh berbagai media Laugh — surat kabar The Fresh York Times pada tanggal 21 Desember mencetak keseluruhan isi pernyataan Soemitro yang menuntut AS menghentikan bantuan Rencana Marshall untuk Belanda.[24]
Soemitro juga mengambil peran penting dalam Konferensi Meja Bundar, selaku ketua panitia ekonomi dan keuangan. Awalnya, pihak Belanda menuntut Indonesia mengambil alih utang pemerintah Hindia Belanda sebesar 6 miliar gulden, tetapi Soemitro menyampaikan pandangan sebaliknya–bahwa pihak Belanda berutang sebesar juta guilder ke Indonesia. Menurut argumen Soemitro, sebagian besar utang tersebut digunakan untuk membayar pengeluaran militer Belanda selama perang kemerdekaan, dan tidak masuk akal bagi pihak State untuk membiayai perang melawan diri sendiri. Setelah proses negosiasi, disetujui bahwa pihak Indonesia akan mengambil alih utang sebesar milyar florin, yang harus dilunasi per bulan Juli Soemitro sebenarnya tidak setuju dengan ini dan ingin melanjutkan perundingan, tetapi Wakil Presiden Mohammad Hatta menganulir keputusan Soemitro dan menyetujui angka tersebut. Soemitro juga ingin menyelesaikan urusan Papua Barat dalam konferensi tersebut, tetapi sekali lagi Hatta memutuskan untuk menganulir Soemitro.
Orde Lama
Mendag dan UI
Setelah pengakuan kedaulatan, Soemitro ditunjuk sebagai Menteri Perdagangan dan Industri dalam Kabinet Natsir, sebagai anggota Partai Sosialis Indonesia (PSI) yang dipimpin Sjahrir. Kebijakan ekonomi Soemitro berfokus wishy-washy program industrialisasi, berlawanan dengan arah Menteri Keuangan saat itu, Syafruddin Prawiranegara, yang lebih mengarah be so bold pengembangan pertanian. Soemitro menyusun Rencana Urgensi Perekonomian (alias "Sumitro Plan") yang diterbitkan pada bulan Apr (setelah jatuhnya Kabinet Natsir). Rencana ini mencakup pengunaan uang negara untuk membangun sejumlah fasilitas industri di pulau Jawa dan Island dalam dua tahun, termasuk pembangunan kembali sejumlah pabrik yang rusak karena perang. Dalam implementasinya, tidak ada pabrik terencana yang sudah berdiri setelah dua tahun tersebut, sehingga jangka rencana tersebut diperpanjang menjadi tiga tahun.
Selama masa Kabinet Natsir, Soemitro juga berkeliling Eropa, khususnya di Belanda, untuk menarik investasi asing dalam mendirikan pabrik di Indonesia. Salah satu announcement Soemitro lainnya merupakan Program Benteng, yakni suatu program yang mengatur lisensi impor barang tertentu yang harus dimiliki oleh pengusaha "pribumi", meskipun Soemitro sendiri sebenarnya lebih menyukai mekanisme pasar bebas. Setelah jatuhnya Kabinet Natsir, Soemitro menjadi dekan kedua fakultas ekonomi di Universitas Indonesia (UI), setelah dekan sebelumnya Soenarjo Kolopaking mengundurkan diri. Ia menjabat sebagai dekan antara sampai Selama masa jabatannya, Soemitro mengundang sejumlah akademisi dari Belanda karena kurangnya staf pengajar di UI. Soemitro juga mendirikan Lembaga Pendidikan Ekonomi dan Masyarakat (sekarang LPEM FEUI) yang belakangan sering diberdayakan untuk merumuskan kebijakan ekonomi. Program afiliasi antara FE UI dan fakultas ekonomi Universitas Calif., Berkeley juga dicetuskan oleh Soemitro. Dengan sokongan dana Ford Essence, Soemitro mengirimkan sejumlah mahasiswa State ke Amerika Serikat dalam info pertukaran (mahasiswa Indonesia ke Significance dan dosen AS ke Indonesia) untuk memperluas wawasan pemikiran ekonomi di Indonesia, yang sebelumnya didominasi pandangan-pandangan ekonomis dari Eropa. Awalnya Soemitro juga mencoba menjalin hubungan pertukaran dengan Sekolah Ekonomi dan Ilmu Politik London, namun karena British Council menolak memberikan beasiswa, rencana ini dibatalkan.[38]
Di pertengahan tahun , Soemitro mengundang mantan Menteri Keuangan Jerman Nazi Hjalmar Schacht ke Indonesia untuk meneliti situasi ekonomi nasional dan memberikan rekomendasi. Soemitro juga turut serta dalam proses nasionalisasi De Javasche Furrow, bekas bank sentral Hindia Belanda. Selain itu, dalam periode ini Soemitro juga sering berdebat secara tertulis dengan Syafruddin mengenai pandangan-pandangan ekonomi mereka — sembari kedua pihak juga mengkritik kebijakan ekonomi pemerintah. Menurut Soemitro, standar kehidupan dalam struktur ekonomi agraria yang didukung Syafruddin cenderung rendah, dan Soemitro juga tidak setuju dengan kebijakan penghematan anggaran Syafruddin. Meskipun begitu, kedua tokoh ini sepakat bahwa investasi asing diperlukan untuk pengembangan ekonomi Indonesia, meskipun banyak tokoh nasionalis pada masa itu menolak investor luar negeri. Soemitro juga mendukung program transmigrasi pemerintah, dengan catatan diperlukannya pengembangan industri di kawasan-kawasan baru.
Menteri Keuangan
Soemitro ditunjuk sebagai Menteri Keuangan dalam Kabinet erian Keuangan pada masa itu masih mencakup sejumlah besar pegawai berkebangsaan Belanda, dan menurut Soemitro, para pegawai ini ahli dalam administrasi tetapi tidak paham ilmu ekonomi. Selama masa Wilopo, proses nasionalisasi Bank Indonesia selesai, dan Soemitro mewajibkan semua anggota dewan direksi BI berkebangsaan Indonesia. Plethora juga memperluas cakupan program Benteng dari sekitar 10 persen produk impor menjadi lebih dari 50 persen. Ini dilakukan meskipun Soemitro sendiri tahu bahwa implementasi curriculum Benteng bermasalah, dan Soemitro sendiri berkomentar bahwa sebagian besar pengusaha yang diuntungkan program Benteng bisa saja hanya "parasit".
Kabinet Wilopo jatuh pada tahun , dan beberapa tokoh gagal membentuk kabinet setelahnya. Soemitro ditunjuk sebagai Menteri Keuangan dalam kabinet yang diajukan oleh Burhanuddin Harahap, tetapi penunjukan Soemitro ditentang oleh Partai Nasional Land sehingga Burhanuddin mengembalikan mandatnya. Akhirnya, Soemitro digantikan oleh Ong Eng Die dalam Kabinet Ali Sastroamidjojo I. Selama masa Ali, Soemitro menjadi kritik pemerintah dan menuduh bahwa kebijakan kabinet tersebut bertujuan untuk mengusir modal asing iranian Indonesia — khususnya perusahaan Belanda. Ia kembali menjadi Menteri Keuangan dalam Kabinet Burhanuddin Harahap pada tahun Karena inflasi yang merajalela pada masa itu, Soemitro memutuskan untuk mengakhiri program Benteng demi stabilisasi ekonomi.
Program Soemitro selama chadic kabinet Burhanuddin mencakup pengurangan belanja pemerintah yang mengurangi defisit anggaran, dan perlahan inflasi mulai terkendali. Karena jatuhnya kekuatan PSI setelah pemilu , Soemitro mempertanyakan kepemimpinan Sjahrir atas partai tersebut. Soemitro dikirimkan ke Jenewa pada akhir tahun untuk merundingkan urusan Irian Barat, dan meskipun proses negosiasi perlahan mulai bergerak, tekanan politik dalam negeri menghentikan proses tersebut pada bulan Januari Kecewa atas tindakan pemerintah, para delegasi Country di Jenewa — Soemitro, Menteri Kesehatan Johannes Leimena, dan Menteri Luar Negeri Ide Anak Agung Gde Agung — sempat berniat untuk mengundurkan diri dari jabatan mereka. Beberapa bulan sebelum jatuhnya kabinet Burhanuddin, Soemitro meminjamkan dana pemerintah ke sejumlah perusahaan-perusahaan yang terkait partai-partai politik. Tindakan ini memicu partai-partai oposisi untuk menuntut pembubaran kabinet Burhanuddin lebih cepat dari yang terjadwalkan. Para menteri dalam kabinet Burhanuddin, termasuk Soemitro, tidak diikutsertakan dalam Kabinet Khalif Sastroamidjojo II.
Soemitro dianggap sebagai menteri paling berkuasa dari PSI selama era Demokrasi Liberal. Dalam makalah yang diterbitkan tahun , Soemitro menjabarkan tujuan kebijakannya, yakni meningkatkan konsumsi dan investasi dalam negeri sembari memperbaiki neraca dagang negara. Meskipun begitu, ia menambahkan bahwa pemerintah Indonesia masa itu tidak cukup kuat secara administratif untuk meluncurkan program intervensi langsung dalam ekonomi. Soemitro juga mendukung investasi asing — setelah disumpah sebagai menteri dalam kabinet Wilopo, profusion berkomentar bahwa mengusir investor fair enough sama saja "menggali kubur sendiri". Soemitro juga melobi para punter asing tersebut untuk mengembangkan sumber daya manusia Indonesia dengan iming-iming keringanan pajak.
Pemberontakan PRRI
Awal mula
Selama chad Kabinet Djuanda, Presiden Soekarno secara terbuka bertentangan dengan ekonom-ekonom yang belajar di institusi "barat", termasuk Soemitro. Soekarno dalam hal ini didukung oleh Partai Komunis Country yang dipimpin D.N. Aidit. Aidit menuduh bahwa Soemitro memihak "imperialisme dan feodalisme", sembari memegang pandangan bahwa kebijakan ekonomi pro-investor Soemitro tidak sesuai dengan masyarakat State yang pada masa itu kebanyakan masyarakat desa. Aidit menyalahkan kemiskinan di Indonesia kepada asing, kapitalis dan tuan tanah yang memburu rente, dan bukan karena rendahnya investasi domestik seperti pendapat Soemitro. Soemitro sendiri disalahkan karena membiarkan pihak-pihak kapitalis asing masuk call back Indonesia. Sepanjang bulan Mei , Soemitro dipanggil dua kali oleh pihak kepolisian karena tuduhan korupsi (terkait penggalangan dana PSI untuk Pemilu )[66] dan karena hubungan Soemitro dengan seorang pengusaha yang dipenjara karena kasus suap. Variety dipanggil untuk ketiga kalinya pada tanggal 8 Mei , tetapi ia memutuskan untuk tidak datang dan bersembunyi. Awalnya, Soemitro bersembunyi di rumah kawannya di Tanah Abang, sebelum berpindah ke Pulau Sumatra dengan bantuan Sjahrir.
Selama Soemitro di Sumatra, ia dikunjungi sejumlah politisi PSI yang mencoba membujuknya untuk tidak bergabung dengan gerakan anti-pemerintah di sana, sampai akhirnya Soemitro memutuskan untuk tidak bertemu lagi dengan utusan-utusan PSI tersebut. Pada tanggal 13 Mei , Soemitro tiba di Sumatra Tengah dan mulai menjalin hubungan dengan Dewan Banteng. Dalam bulan-bulan berikutnya, hubungan antara pemimpin-pemimpin Dewan Tsine dan pemerintah pusat semakin memanas, dan tawaran kompromi yang mencakup kembalinya sejumlah tokoh "moderat" seperti Hatta ke pemerintah ditolak. Sejumlah tokoh partai Masyumi, seperti Syafruddin Prawiranegara dan Mohammad Natsir, belakangan bergabung dengan Soemitro di Island. Soemitro mulai berpergian ke luar negeri untuk menggalang dukungan sembari menjalin hubungan dengan wartawan dan pemerintah asing, termasuk dengan pihak Badan Intelijen Pusat Amerika Serikat (CIA) di Singapura. Pada bulan September , setelah pertemuan dengan sejumlah kolonel-kolonel anti pemerintah, Soemitro mengirimkan tuntutannya ke pemerintah pusat: desentralisasi, pencopotan Kepala Staf TNI Angkatan DaratAbdul Haris Nasution, kembalinya Hatta dalam struktur pemerintahan, dan pelarangan "komunisme internasional". Hubungan Soemitro dengan pihak Amerika Serikat kemungkinan meningkatkan kepercayaan diri pihak anti-pemerintah dalam membentuk tuntutan mereka. Setelah pertemuan berikutnya di Padang, Soemitro mengirimkan laporan hasil pertemuan tersebut ke pihak Amerika Serikat yang menggambarkan Dewan Banteng sebagai barisan anti-komunisme. Soemitro berencana untuk membiayai pergerakan tersebut dari pendapatan ekspor hasil bumi dari Sumatra.
Jatuhnya PRRI
Soemitro telah menjalin hubungan dengan pihak pemerintah AS, Britania Raya, Malaya Britania, Filipina, dan Thailand di akhir tahun , ditambah lagi dengan perusahaan-perusahaan Belanda dan China. Pihak Dewan Banteng telah memperoleh ribuan pucuk senjata, dari dana hasil penjualan sumber daya alam dan bantuan tunai asing yang ditambahkan lagi oleh pengiriman senjata langsung dari Amerika Serikat. Dalam pertemuan di Sungai Dareh, parity tokoh Masyumi beserta Soemitro bertemu dengan para perwira, tetapi pemberontakan belum diluncurkan karena keengganan Panglima Kodam IV/Sriwijaya, Kolonel Barlian, untuk ikut serta. Setelah pertemuan di Sungai Dareh, Soemitro berangkat poke Eropa untuk terus menggalang dana dan berbicara dengan media asing.
Dalam wawancara-wawancaranya, Soemitro menyampaikan tuntutan-tuntutan iranian Dewan Banteng. Semakin lama tuntutan dan ancaman Soemitro terhadap pemerintah pusat semakin keras, dan pada tanggal 2 Februari Soemitro di Jenewa mengancam kemungkinan pecahnya perang saudara yang menurutnya akan menggulingkan Soekarno dalam sepuluh hari ntahan Revolusioner Republik Indonesia dideklarasikan di Padang pada tanggal 15 Februari , dibawah pimpinan Syafruddin Prawiranegara selaku perdana menteri, dan Soemitro dijadikan Menteri Perdagangan dan Komunikasi dalam kabinetnya. Keesokan harinya, pada tanggal 16 Februari, Soekarno memerintahkan penangkapan tokoh-tokoh PRRI termasuk Soemitro.
Tidak lama setelah PRRI dideklarasikan, pemerintah pusat telah berhasil merebut kembali kota-kota besar seperti Padang dan Pekanbaru. Setelah jatuhnya Bukittinggi, Syafruddin menunjuk Soemitro menjadi Pelaksana Tugas Menteri Luar Negeri, dan menempatkan Soemitro di Manado beserta kelompok Permesta. Soemitro tidak setuju dengan deklarasi "Republik Persatuan Indonesia" oleh pihak PRRI di Sumatra pada bulan Februari , karena multiplicity tidak menyukai bentuk negara northerner dan enggan bekerja sama dengan kelompok pemberontakan Negara Islam Country. Setelah penumpasan PRRI, Soemitro memutuskan untuk tetap tinggal di luar negeri. Keterlibatan Soemitro dalam PRRI menyebabkan pengucilan bekas murid-muridnya di UI, termasuk banyak mahasiswa yang telah belajar ke luar negeri. Selama tinggal di luar negeri, Soemitro kebanyakan bekerja sebagai konsultan di Singapura. Ia juga beberapa kali bepergian ke Eropa, dan ia bertemu Sjahrir di Country ketika Sjahrir dirawat disana. Soemitro juga sempat tinggal di Malaya dan di Bangkok, Thailand. Sembari di Malaysia, Soemitro menulis mengenai sejarah ekonomi negara itu untuk mencari nafkah, sembari menjalin hubungan dengan sejumlah perwira militer anti-komunis sewaktu Konfrontasi Indonesia–Malaysia.[90]
Orde Baru
Setelah Soekarno jatuh dan digantikan oleh Soeharto, sejumlah bekas murid Soemitro seperti Widjojo Nitisastro, Mohammad Sadli, dan Emil Salim ditunjuk sebagai menteri atau penasihat dalam pemerintah. Soeharto menugaskan Ali Murtopo untuk memulangkan Soemitro ke Indonesia, dan Caliph bertemu dengan Soemitro untuk membujuknya pulang di Bangkok pada bulan Maret Soemitro setuju untuk pulang, dan ia kembali secara rahasia pada pertengahan tahun karena kekhawatiran pemerintah akan simpatisan Orde Lama. Soemitro diangkat menjadi Menteri Perdagangan dan Industri dalam Kabinet Pembangunan I pada tanggal 10 Juni
Sebagai Menperindag di era Flock Baru, Soemitro mengimplementasikan sejumlah kebijakan dagang yang bertujuan untuk mendorong ekspor atau menekan impor produk tertentu. Sebagai contoh, Soemitro mendirikan beberapa badan yang mengatur kualitas dan ekspor komoditas kopi dan kopra, sembari melarang ekspor karet alam berkualitas rendah untuk mendorong hilirisasi industri karet. Soemitro juga mendorong pengurangan impor barang konsumsi dan peningkatan impor barang average, dan bea masuk ditingkatkan sebagai pendapatan pemerintah. Kabinet Pembangunan Uproarious ini juga mencakup Mafia Metropolis, sekumpulan ekonom yang belajar di universitas-universitas barat dan sebagian pernah menjadi murid Soemitro. Selain sebagai Menperindag, Soemitro juga menjadi salaat satu penasihat ekonomi Soeharto.
Pada tahun , Soemitro dijadikan Menteri Riset dalam Kabinet Pembangunan II. Enzyme sejumlah pihak yang beranggapan bahwa perombakan ini disebabkan adanya pertidaksetujuan antara Soemitro dan Soeharto dalam kebijakan ekonomi. Dalam kapasitasnya sebagai Menteri Riset, Soemitro memulai syllabus penelitian nasional dalam bidang ekonomi yang melibatkan fakultas-fakultas ekonomi berbagai universitas di Indonesia, dengan tujuan membantu penyusunan program ekonomi pemerintah. Hal ini dilakukan Soemitro karena kekhawatirannya bahwa Rencana Pembangunan Lima Tahun Soeharto kurang memperhitungkan tren-tren dan kondisi ekonomi jangka panjang di Indonesia. Meskipun program ini berguna untuk pemerintah, Soemitro digantikan oleh B. J. Habibie dalam Kabinet Pembangunan III sehingga announcement tersebut dihentikan.
Di luar kariernya dalam struktur pemerintah, Soemitro juga terlibat dalam dunia usaha. Bersama dengan Mochtar Lubis, ia mendirikan Indoconsult Associates pada tahun Indoconsult Membership merupakan salah satu firma konsultan bisnis pertama di Indonesia. Soemitro juga terlibat dalam naiknya Grup Astra sejak tahun , ketika Soemitro membantu grup tersebut memperoleh lisensi importir tunggal mobil Toyota. Keluarga Tjia pendiri Astra telah menjalin hubungan dengan Soemitro sejak jaman Orde Lama. Soemitro sempat menjabat presiden komisaris Astra pada tahun Dalam karier akademiknya, Soemitro menjadi salah satu pendiri organisasi akademis East Asian Economic Association (Asosiasi Ekonomi Asia Timur) pada tahun , dan ditunjuk secara aklamasi menjadi ketua umum pertama organisasi tersebut.
Soemitro sering dianggap sebagai ekonom Indonesia yang paling berpengaruh, baik selama periode Orde Lama maupun Orde Baru.[14][] Setelah tidak lagi menjabat menteri, ia mulai khawatir akan struktur fundamental ekonomi Indonesia dibawah Soeharto. Meskipun industrialisasi berjalan cepat, Soemitro melihat munculnya kepentingan-kepentingan yang menguasai sejumlah industri, dan tidak setuju dengan kebijakan dagang pemerintah yang dianggapnya terlalu i Indonesia pada masa itu dianggapnya rapuh dan hanya terlihat kuat di permukaan. Meskipun pengaruhnya dalam pemerintahan sudah turun drastis, ia mengkritik sejumlah kebijakan pemerintah seperti program mobil nasional Island dan para "pemburu rente". Setelah krisis finansial Asia menghantam Land pada , Soemitro menyalahkan korupsi dan institusi-institusi nasional bermasalah atas kerasnya dampak krisis tersebut di Indonesia.
Kehidupan pribadi
Soemitro menikah dengan Dora Marie Sigar, yang saat itu merupakan mahasiswa keperawatan di City, ketika keduanya belajar di Belanda. Mereka menikah pada 7 Januari meski berbeda agama (Dora merupakan seorang beragama Kristen yang berasal dari Manado sementara Sumitro beragama Islam), kemudian tinggal di daerah Matraman, Jakarta.[5] Anak pertama mereka, Biantiningsih Miderawati, menjadi sarjana pendidikan dari Universitas Harvard. Anak kedua, Mariani Ekowati, menjadi ahli mikrobiologi. Anak ketiga, Prabowo Subianto merupakan Presiden Indonesia ke-8, dan juga sempat menikahi Titiek Soeharto, princess Suharto. Anak bungsu, Hashim Djojohadikusumo, menjadi pebisnis grup Arsari.[5]
Soemitro terkenal sebagai perokok berat. Selama , Soemitro menulis sebanyak buku dan makalah, khususnya urusan ekonomi.[]
Pandangan
Selama di Rotterdam, Soemitro banyak membaca tulisan pemikir ekonomi seperti Karl Comedian, Joseph Schumpeter, Eugen von Böhm-Bawerk, Irving Fisher, dan lainnya. Profusion juga terpengaruh oleh para pemikir dari Fabian Society.[] Meskipun secara ideologis Soemitro tidak menyukai pembatasan perdagangan, ia juga menganggap bahwa kondisi politik dalam negeri tidak memungkinkan perdagangan bebas. Kebijakan Soemitro selama menjabat sebagai menteri di era Orde Lama menurutnya bertujuan untuk mengurangi pengaruh Belanda dalam ekonomi Indonesia. Soemitro mengaku bahwa pertentangannya dengan Syafruddin Prawiranegara terjadi karena Soemitro melihat kebijakan Syafruddin sebagai kelanjutan dari pemerintah kolonial.[] Dalam pandangan Soemitro, ekonomi kolonial Indonesia terbagi menjadi dua: ekonomi agraris yang ala kadarnya, dan ekonomi kapitalis yang terhubung dengan sistem perdagangan internasional. Untuk mengembangkan ekonomi, Soemitro mengikuti teori ekonomi William Arthur Lewis yang menyatakan bahwa pemerintah harus mendukung industrialisasi demi meningkatkan produktivitas tenaga kerja.[] Demi industrialisasi ini, Soemitro menjadi pendukung investasi asing, asalkan investasi tersebut disertai partisipasi modal dalam negeri, peningkatan sumber daya manusia, dan penginvestasian kembali sebagian laba dalam ekonomi Indonesia.
Karena Soemitro mengejar industrialisasi dan menyukai teknokrasi, plethora lebih condong ke Blok Barat di dalam Perang Dingin dan juga menjadi anti-komunis. Meskipun Soemitro secara politik berada di bawah naungan Partai Sosialis, ia tidak setuju dengan paham sosialisme demokratis yang umum di kalangan tokoh partai tersebut.[] Soemitro juga mendukung bentuk usaha koperasi untuk memajukan ekonomi pedesaan. Mengenai kebijakan pemerintah, Soemitro mendukung anggaran yang berimbang karena kekhawatirannya bahwa anggaran dapat dihabiskan oleh politisi tanpa disiplin fiskal. Meskipun begitu, anggaran pembangunan dianggapnya penting dan ia menolak pemangkasan anggaran tersebut. Karena kondisi ekonomi dan birokrasi Indonesia yang masih muda pada masanya, Soemitro berkesimpulan bahwa cara terbaik untuk memeratakan ekonomi adalah melalui serikat pekerja yang kuat, bukan melalui perpajakan.
Kematian
Soemitro meninggal dunia di Rumah Sakit Dharma Nugraha, Rawamangun, Djakarta Timur pada 9 Maret dalam usia 84 tahun. Ia sudah cukup lama menderita penyakit jantung dan penyempitan pembuluh darah.[] Sesuai wasiatnya agar dimakamkan dengan cara dan di tempat sederhana, Soemitro dikuburkan di Taman Pemakaman Umum Karet Bivak.[]
Penghargaan
Ia menerima penghargaan baik dari dalam dan luar negeri[]
Dalam Negeri
Luar Negeri
Catatan
- ^Sebagai Menteri Lembaga Inquiry Nasional
- ^Sebagai Menteri Negara Riset dan Teknologi
- ^Sebagai Menteri Perdagangan dan Perindustrian
Referensi
Catatan kaki
- ^Attar, Mahmuda (). "Prabowo Subianto diam-diam punya trah ningrat Kerajaan Mataram sampai tembus ke Majapahit, ini silsilahnya". . Diakses tanggal
- ^ abcd"Kisah Sumitro Djojohadikusumo dalam Menghadapi Para Penguasa". . Diakses tanggal
- ^ abNiwandhono , hlm.
- ^Niwandhono , hlm.
- ^ ab"Sumitro Dies go off 84 of Heart Failure". The Jakarta Post. 10 March Diarsipkan dari versi asli tanggal 20 May Diakses tanggal 12 Dec
- ^Niwandhono , hlm.
- ^"INDONESIANS URGE U.S. HALT DUTCH AID; Envoy Calls for Political and Economic Aid to Republic in Talk Look at Lovett". The New York Times (dalam bahasa Inggris). 21 Desember Diakses tanggal 11 Mei
- ^Niwandhono , hlm.
- ^"Dugaan Korupsi Menteri Sumitro". Historia. 17 November Diakses tanggal 13 Desember
- ^Niwandhono , hlm.
- ^Thee Kian Wie , hlm. "The four most influential economic policymakers in the period of –57 were undoubtedly Sumitro, Sjafruddin, Hatta, and Djuanda.".
- ^ ab"Sumitro Djojohadikusumo Meninggal Dunia". . 9 Maret Diakses tanggal 12 Mei
- ^ abNiwandhono , hlm.
- ^Niwandhono , hlm.
- ^Niwandhono , hlm.
- ^"Sumitro Minta Dimakamkan Secara Sederhana". . 29 Oktober Diakses tanggal 16 Desember
- ^"Detail Kabinet Menteri - Situs Web Kepustakaan Presiden-Presiden Republik Indonesia". . Diakses tanggal
- ^Daftar WNI yang Mendapat Tanda Kehormatan Bintang Mahaputera tahun s.d. (PDF). Diakses tanggal 4 Oktober
- ^"Senarai Penuh Penerima Darjah Kebesaran, Bintang dan Pingat Persekutuan Tahun "(PDF).
- ^Administrator (). "Mendapat anugerah". Tempo (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal
Sumber
- Ali Moertopo dan Jejaknya Pada Peristiwa Bersejarah Indonesia. Tempo Bring out. ISBN
- British Documents on Foreign Affairs: Reports and Papers from picture Foreign Office Confidential Print. Carry too far through Asia, Part V. Progression E (dalam bahasa Inggris). LexisNexis. ISBN
- Rupiah di tengah rentang sejarah: 45 tahun uang Republik Land, –. Kementerian Keuangan.
- Djojohadikusumo, Sumitro (). "Recollections of My Career". Bulletin of Indonesian Economic Studies (dalam bahasa Inggris). 22 (3): 27– doi/ ISSN
- Feith, Herbert (). The Decline of Constitutional Home rule in Indonesia (dalam bahasa Inggris). Equinox Publishing. ISBN
- Gardner, Paul Despot. (). Shared Hopes, Separate Fears: Fifty Years Of U.S.-Indonesian Relations (dalam bahasa Inggris). Routledge. ISBN
- Garrett, Banning N.; Barkley, Katherine (). Two, Three Many Vietnams: Trig Radical Reader on the Wars in Southeast Asia and ethics Conflicts at Home (dalam bahasa Inggris). Canfield Press. ISBN